"Ada banyak kaum ibu dan anak-anak balita yang dipaksa menjadi perokok pasif gara-gara bapaknya seorang perokok," jelas Andrianof, Rabu (30/1).
Menurutnya, justeru perokok yang berada di rumah tangga (keluarga) lebih berbahaya dibanding perokok ditempat-tempat umum. Sebab perokok aktif di rumah tangga, umumnya melakukan aktivitas merokoknya disembarang tempat.
"Di kamar tidur merokok, di ruang keluarga merokok, bahkan kadang di kamar mandi juga merokok," tambahnya.
Situasi seperti itu justeru sangat berbahaya bagi orang-orang di sekelilingnya. Bisa jadi anak-anak balita yang ada dalam keluarga tersebut terpapar lebih banyak asap rokok dibanding perokoknya itu sendiri.
Andrianof sendiri mengakui sikap Indonesia yang menolak meratifikasi perjanjian FCTC merupakan sikap banci. Namun terbitnya PP no 109 tahun 2012 menurutnya merupakan langkah strategis untuk memulai bersikap menolak rokok.
"Ini sebuah contoh dimana sebuah kebijakan public dilakukan dengan langkah yang hati-hati dan sangat demokratis. Ini sebuah kesitimewaan," katanya.
Untuk menjadikan kebijakan public tersebut memiliki kekuatan hukum yang sifatnya lebih mengikat semua orang, menurut Andrianof, pemerintah perlu menyajikan data-data yang lebih valid dan teruji seputar fakta merokok. Bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, semua orang sudah mengetahuinya.
Tetapi bagaimana dasyatnya rokok sudah merusak generasi muda, sudah menghabiskan anggaran negara sedemikian besar dan sudah menjadi media bagi perusahaan untuk menekan petani tembakau harus disajikan ke masyarakat luas.
"Jadi keputusan untuk berhenti merokok, sifatnya menjadi tidak memaksa," pungkasnya.
Data Kementerian Kesehatan, saat ini terdapat 61,4 juta penduduk Indonesia saat ini menjadi perokok aktif. [Wina Tjhoa / Jakarta]
Teks Iklan !
Pasang iklan baris usaha anda dibagian bawah artikel ini, dengan cara kontak email Tionghoanews