Bersin terjadi karena sinyal biokimia yang mengatur detak kecil struktur rambut yang disebut silia pada selaput lendir rongga hidung. Namun, bersin dapat menjadi tidak efektif dalam kondisi tertentu, seperti pada kasus sinusitis, yang dapat menjelaskan mengapa orang yang memiliki alergi dapat mengalami bersin dengan intensitas tinggi.
Sebuah tim internasional para peneliti medis mempelajari respon bersin pada tingkat molekuler untuk memahami apa yang terjadi seandainya ia berhenti bekerja.
"Meskipun sinusitis jarang menyebabkan kematian, namun ia memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup kita, yang mayoritas berhubungan dengan saluran pernapasan yang bersih," kata rekan penulis studi Dr Noam A. Cohen di Universitas Pennsylvania dalam siaran pers.
"Dengan memahami proses dimana pasien yang mengidap sinusitis tidak membersihkan lendir dari hidung dan sinus, maka kita dapat mencoba mengembangkan strategi baru untuk mengimbangi kurangnya proses pembersihan lendir dan meningkatkan kualitas hidup bagi mereka (para penderita sinusitis)."
Para peneliti mengamati bagaimana sel hidung mengeluarkan lendir dengan menggunakan jaringan dari tikus yang dikultur dalam inkubator. Mereka melihat respon biokimia sel untuk simulasi bersin atau hembusan udara, dan diulang beberapa kali percobaan dengan sel-sel jaringan sinus dan hidung dari orang-orang yang mengidap sinusitis dan non-penderita sinusitis.
Mereka menemukan bahwa sel-sel dari pasien penderita sinusitis merespon secara berbeda dengan sel yang normal.
"Saya yakin bahwa studi biokimia modern tentang frekuensi perangsangan silia akan membantu kita menemukan pengobatan baru untuk kasus sinusitis kronis," komentar Dr Gerald Weissmann, kepala editor FASEB Journal, dalam siaran pers.
"Kita sekarang mengetahui mengapa kita bersin. Hal yang selama ini kita anggap menjijikkan dan menjengkelkan ini ternyata justru sangat baik bagi sistem pernapasan kita," tambahnya.
Studi ini dipublikasikan di FASEB Journal edisi Agustus. [Yolanda Li / Banjarmasin]