KESEHATAN | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 12 Februari 2012

RISIKO EFEK SAMPING ABORSI

Berkat perkembangan teknologi kedokteran, aborsi dapat lebih "mudah" dilakukan dibandingkan dengan pada waktu yang silam. Meskipun demikian, tindakan yang menyalahi hukum alam ini mau tak mau berisiko meninggalkan efek samping pada wanita yang menggugurkan kandungannya, baik jasmaniah maupun kejiwaan. Selain efek samping yang langsung, seperti perdarahan, infeksi, kemandulan, ada pula efek samping yang baru timbul bertahun-tahun kemudian seperti kanker payudara, sindrom (kejiwaan) pasca aborsi, atau pun eksploitasi wanita.

RESIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN FISIK

Pada saat melakukan aborsi  dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku "Facts of Life" yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:

1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat
2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya
6. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
7. Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
8. Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
9. Kanker hati (Liver Cancer)
10. Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya 11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease) 13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
RESIKO KANKER PAYUDARA

Penelitian oleh National Cancer Institute (NCI), sebuah badan penelitian nasional di Amerika Serikat, mempublikasikan hasilnya pada April 2009 mengenai kaitan antara kontrasepsi dan kanker payudara. Di antaranya dikemukakan juga bahwa aborsi meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita sebesar 40% di samping kontrasepsi oral yang diperkirakan meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita berusia < 45 tahun. Penelitian ini dipimpin oleh Louise Brinon dari NCI. Para kelompok advokasi wanita mempertanyakan, mengapa sampai saat ini para wanita masih belum mendapat informasi tentang hal tersebut.

Sebelum penelitian ini, pada tahun 1996 Brinon mempelajari laporan yang menyatakan terjadinya peningkatan risiko kanker payudara sesudah aborsi sebesar 20-25% oleh Coalition on Abortion Breast Cancer. Ketua koalisi, Karen Malec menyatakan "Meskipun penelitian itu sudah dipublikasikan sembilan bulan sebelumnya, NCI belum memberikan peringatan kepada para wanita sebagai upaya menurunkan angka kanker payudara. Lebih banyak wanita akan meninggal disebabkan kanker payudara bila NCI gagal melaksanakan tugasnya untuk memperingatkan risiko aborsi (dan kontrasepsi)."

RESIKO KESEHATAN MENTAL

Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.

Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai "Post-Abortion Syndrome" (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam "Psychological Reactions Reported After Abortion" di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994).

Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini:

1. Kehilangan harga diri (82%)
2. Berteriak-teriak histeris (51%)
3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
4. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)

EKSPLOITASI WANITA DAN PAKSAAN ABORSI

Aborsi telah dilegalisasi di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Namun suatu survei yang dilakukan belum lama ini menemukan bahwa 64% dari para wanita yang mengaborsi buah kandungannya menyatakan bahwa mereka berada di bawah tekanan /paksaan orang lain untuk melakukannya. Tidak terdapat bukti bahwa bisnis aborsi berusaha memberi pilihan lain atau menanyakan apakah si wanita atau gadis tersebut benar-benar menghendaki aborsi tersebut. Menurut survei tersebut:

* 67% responden menyatakan mereka tidak mendapat konseling sebelum aborsi
* 84% menyatakan konselingnya kurang memadai
* 79% menyatakan mereka tidak diberi alternatif selain dari aborsi.

Pria pun sering menjadi korban taktik konselor aborsi melalui beberapa poster yang menyatakan bahwa pria tidak mempunyai hak yang sah untuk menghentikan aborsi bila ingin mempertahankan anaknya. Meskipun artikel ini kemudian ditarik kembali, tetapi tetap menunjukkan perlunya upaya untuk menghentikan aborsi karena paksaan, tak diinginkan dan berbahaya.

Seorang pakar mengenai kekerasan pada wanita memperingatkan, bahwa 'hak untuk aborsi' sebenarnya memperbudak wanita karena membuat mereka rawan untuk dieksploitasi dan dilecehkan. Aborsi membawa ketidakadilan pada wanita karena pria yang tidak mau bertanggung jawab dapat serta merta meninggalkan wanita tanpa dukungan bila ia hamil. Para pria dapat menimpakan beban itu padanya bila wanita itu tetap ingin memelihara kehamilan.

Studi on line pada wanita dan pria yang terlibat melakukan aborsi pada waktu lampau, seperti dipublikasikan di dalam jurnal Traumatology menyatakan bahwa konseling yang tidak memadai dan ketidaksepakatan mengenai aborsi di antara pasangan merupakan pemicu masalah-masalah kejiwaan dan relasi serta gejala-gejala post traumatic stress disorder (PTSD) seperti menghindari tempat /suasana tertentu, susah tidur, pemarah, agresif.

* kurang lebih 80% wanita dan 77% pria menderita sekurang-kurangnya satu gejala PTSD
* Hampir 80% wanita dan 60% pria menyatakan bahwa pengalaman aborsi tersebut betul-betul menekan.

Dengan demikian wanita dan pria yang menghadapi kehamilan tak dikehendaki benar-benar membutuhkan lebih banyak konseling daripada yang diberikan sekarang. Sebuah survei lain mendapatkan bahwa 95% para wanita menghendaki mendapat informasi mengenai semua risiko sebelum menjalani aborsi. [Teo Ai Ping / Jakarta]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA