Apakah kita benar-benar mengetahui apa yang dikonsumsi nenek moyang kita? Ada bukti sebelum 10.000 tahun lalu, nenek moyang kita adalah masyarakat pemburu-pengumpul yang artinya mereka bertahan hidup dengan berburu atau mengumpulkan secara langsung binatang dan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat dimakan, bukan melalui pembudidayaan. Selama periode evolusi, makanan kita jauh berbeda dengan banyak makanan modern dewasa ini, seperti roti, pasta, sereal, susu, minyak sayur olahan, dan gula halus.
Makanan jenis “Baru” yang dikonsumsi 10.000 tahun terakhir terbuat dari sekitar 75% kalori yang dikonsumsi pada makanan standar masyarakat Barat.
Sampai saat ini, istilah evolusi menyebutkan makanan kita terdiri dari makanan utama seperti daging, ikan, kerang, telur, buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan. Namun, ketersediaan makanan jenis ini bervariasi sesuai dengan ketersediaan dan kebutuhan.
Nenek moyang kita yang tinggal di daerah khatulistiwa memiliki kemudahan mendapatkan makanan nabati, seperti buah-buahan dan sayuran. Namun mereka yang tinggal jauh dari khatulistiwa, lebih bergantung pada berburu daging dan ikan.
Salah satu cara memasukkan wawasan periode evolusi ke dalam makanan kita yakni dengan mengamati pola makan pemburu-pengumpul masa kini. Sumber data terbaik yang relevan adalah Atlas Etnografi. Di dalamnya kita dapat menemukan informasi makanan dari 229 masyarakat pemburu-pengumpul kontemporer.
Baru-baru ini, data ini dianalisis oleh dua peneliti Jerman untuk mengetahui kandungan karbohidrat pada makanan primitif tersebut. Data itu dipublikasikan pada Juni dalam jurnal Nutrition Research.
Persentase kandungan kalori karbohidrat bervariasi dari 3% sampai sekitar 50%. Tidak mengherankan jika mereka menemukan persentase dari makanan yang berasal dari karbohidrat lebih tinggi pada populasi yang berada di dekat khatulistiwa daripada yang lebih jauh. Persentase yang paling umum di antara semua kelompok adalah sekitar 20%.
Rekomendasi resmi menyatakan sekitar 60% kalori yang kita konsumsi harus berasal dari karbohidrat. Itu sebenarnya lebih tinggi daripada makanan yang paling kaya karbohidrat pemburu-pengumpul sekalipun, dan sekitar tiga kali lebih besar dari persentase karbohidrat rata-rata dalam diet tersebut.
Para penulis studi ini menyimpulkan, “Kisaran asupan energi dari karbohidrat dalam makanan utama masyarakat pemburu-pengumpul ini jelas berbeda (lebih rendah) dari jumlah yang saat ini direkomendasikan sebagai standar kesehatan manusia.”
Tidak hanya perubahan dalam jumlah persentase karbohidrat namun juga kualitas. Jauh sebelumnya karbohidrat terutama berasal dari buah-buahan dan sayuran, termasuk umbi-umbian. Dewasa ini, kita lebih banyak mengonsumsi produk-produk berbasis biji-bijian, yang banyak telah diolah, dan juga gula olahan dan buah-buahan yang telah dibudidayakan agar berasa lebih manis dari buah alami.
Banyak masalah akibat pola makan seperti itu. Gangguan gula darah dan lonjakan insulin. Lonjakan gula darah dapat merusak tubuh melalui berbagai proses, termasuk peradangan dan glikasi (mengikat gula ke jaringan).
Gula darah yang tinggi dapat menyebabkan gula darah rendah, yang dapat memicu gejala seperti rasa lapar, ketagihan makan, kelelahan mental, perubahan mood, dan insomnia.
Lonjakan insulin yang merespon gula darah tinggi menyebabkan kerentanan terhadap kenaikan berat badan, penyakit jantung, dan diabetes tipe-2.
Tentu saja, salah satu jalan keluar yang memungkinkan yakni dengan menolak nasehat nutrisi konvensional pada konsumsi karbohidrat dan tetap memilih makanan primitif sebanyak mungkin. [Meilinda Chen / Jakarta / Tionghoanews]
Sumber Artikel: Google Search Engine